16
Jun
09

Pencitraan: Manifesto atas Identitas Imajiner

Wacana tentang pencitraan makin banyak didiskusikan pada saat media menjadi sesuatu yang omnipresent (ada dimana-mana). Karena medialah yang dianggap sebagai agen pengejawantahan pencitraan. Pencitraan sendiri adalah bagaimana sesuatu dapat dikenali melalui tampilan yang dirancang oleh suatu entitas. Baik itu sebuah personal, institusi, maupun bentuk noumena lainnya. Makna noumena disini adalah ide, gagasan, karakter, dan juga pesan yang terdapat dalam sesuatu yang empiris. Dalam konteks kekinian, kebanyakan pencitraan kontra terhadap substansi. Ia menginginkan lingkungan di luar dirinya untuk mengimajinasikan persepsi tentangnya seperti apa yang entitas tersebut inginkan. Walaupun dalam beberapa hal ia berada diluar kesadaran. Sehingga dimensi empiris adalah keniscayaan dalam pencitraan.

Seperti dalam nomenklatur brand image, ‘brand’ dapat dirujuk pada kata kerja ‘branding’. Branding berarti sebuah aktivitas memberi nama atau sebuah identitas partikular untuk menarik simpati dan keberpihakan. Image menunjukkan pembayangan dan penganggapan atas sebuah noumena, bahwa apa yang ditampakkannya adalah seperti hal-hal yang melekat dalam kediriannya.

Di titik inilah, pencitraan, brand image, atau dapat kita katakan iklan, menjadi manifesto atas metode manipulatif. Konsep hiperealitas ini efektif untuk menunjukkan substansi (kualitas, sikap, moralitas) sebagaimana yang diinginkan subjek. Contoh empiris atas uraian ini adalah deretan baliho, spanduk, dan bendera yang biasanya berslogan. Selain itu iklan elektronik dari para calon wakil rakyat dalam pemilihan umum tahun 2009, juga tak luput dari permainan tanda yang dapat membunuh makna. Orang akan memberi justifikasi atas subtansi para calon sesuai dengan apa yang ditunjukkan calon tersebut secara empiris terhadap orang lain.

Bahkan Heidegger (dalam Piliang, 2003:207) berani mengklaim bahwa dunia kontemporer telah dipenuhi oleh gambar dan citraan yang menurutnya telah mendominasi dunia kasat mata. Sehingga dapat dikatakan ia kini menjadi semacam alam kedua kita. Gambar dan citraan yang dibayangkan oleh Heidegger adalah pengertian yang luas mencakup lukisan, foto, televisi, iklan, produk, dan arsitektur. Selanjutnya perspektif topografis, ilusi, akan menjadi fondasi atas memori-memori imajinatif manusia.

Imaginasi, menjadi mekanisme penting dalam sebuah identifikasi verbal maupun non-verbal. Apa yang orang katakan atas suatu hal adalah apa yang sedang dia bayangkan terhadap suatu hal tersebut (Ian Robertson, 2007: 37). Ketika orang mengatakan seekor harimau, maka dalam waktu yang beriringan bayangan akan sebuah benda mirip kucing, lebih besar, bertaring, bercakar, agresif, dan buas muncul darinya seketika. Bahkan dalam beberapa kasus, imajinasi tersebut muncul sebelum aktivtas verbal dilakukan. Sehingga menyampaikan pesan dengan memberi kesan merupakan upaya membangun kekuasaan pengaruh untuk sebuah memori imajinatif.

Secara lebih khusus, realitas yang terjadi sekarang yakni serakan foto-foto di atas pancangan bambu dan di balik layar-layar perabot elektronik sebenarnya dapat dilihat dari argumentasi Barthes terhadap tipe empirik yang spesifik ini:

“Akan tetapi pada gambar tertentu (khususnya foto) terdapat relasi waktu yang khusus dibalik gambar. Seseorang pada sebuah foto, yang diambil pada masa lalu, dapat dianggap hadir di sini, di masa kini, di hadapan kita. Ia telah ada pada foto itu, artinya ia masih aka ada, layaknya sesuatu yang hidup.”

Argumentasi dari pemikir Prancis yang menonjol dengan pemakaian konsep sintatik-paradigmatik dalam menjelaskan gejala budaya berpendapat bahwa pencitraan senantiasa ditampilkan untuk menghadirkan masa lalu. Apa yang disebut romantisme sejarah, dapat termanifestasi melalui pencitraan yang sangat empiris ini. Hal ini dilakukan sekali lagi agar subjek menginginkan adanya pengakuan atas apa yang dia inginkan dari lingkungan eksternal diluar dirinya.

Menjadi sangat menarik ketika pencitraan juga dibingkai dengan konsep dramaturgi dari Erving Goffman. Anggota mazhab Chicago ini dalam dramaturgisnya membayangkan bahwa individu adalah aktor panggung yang tengah mempertunjukkan performanya di depan para penonton. Mekanisme panggung yang di dalamnya termasuk aktivitas di depan panggung dan di belakang panggung adalah aspek penting dalam konsep ini. Individu sebagai manifestasi aktor panggung cenderung menampilkan hasil akhir dari proses pembentukan performance di depan audiennya. Sehingga jati diri aktor yang sebenarnya adalah bagian yang harus dinafikan.

Sedangkan bagian belakang panggung tidak perlu diperlihatkan, karena biasanya terdapat kekeliruan ketika latihan. Hal itulah yang menjadikan belakang panggung tidak boleh diketahui penonton agar pementasan berjalan lancar .

Konsep ini dapat membedah fenomena pencitraan yang dilakukan oleh para caleg. Slogan dan janji saja yang dikumadangkan dalam media sosialisasi, sebagai hasil pengharapannya untuk diminati rakyat. Namun, demi kesuksesan pementasan drama, proses atau cara untuk mencapai janji dan slogan tersebut hampir tidak pernah ditampilkan, karena hal itu berada pada wilayah belakang panggung.

Namun dibalik pencitraan sebagai sebuah epidermia dari substansi yang sering dinafikan, terdapat episentrum lain yang kita sebut dengan orientasi. Pada dasarnya orientasi berpangkal pada sebuah kesadaran melakukan. Kesadaran bahwa tujuan utama akan menjadi hasil akhir yang satu jalur dengan tujuan tersebut ternyata pada akhirnya mengalami “pelebaran” atau penyimpangan akibat.

Namun dalam konteks pencitraan, tampilan-tampilan yang diekspresikan cenderung bersifat efektif terhadap orientasi awal yang manipulatif. Sebagai contoh adalah seorang menginginkan dirinya dianggap intelektual oleh orang lain. Maka tampilan berkaca mata dengan jinjingan buku-buku para penggagas teori menjadi sangat efektif pada pertama kali orang lain melihatnya. Sehingga pencitraan yang dilakukan olehnya adalah mempunyai akibat sesuai dengan orientasinya yang menginginkan lingkungan diluar dirinya mempersepsikan sesuai apa yang dia inginkan (sadar maupun tidak sadar).

Berbeda dengan apa yang disebut sebagai orientasi asimetris, penyimpangan akibat sangat dimungkinkan terjadi. Sebagai contoh ketika kampus menginginkan adanya penertiban tata ruang, kebersihan, dan kerapian infrastruktur fisik kampus, aturan ketat dan tegas adalah ekspresi atas orientasi pokok ini. Namun, akhirnya lingkungan eksternal, para mahasiswa, yang pada dasarnya sebagai entitas terbesar secara kuantitas memiliki pertimbangan berbeda dengan pembuat kebijakan. Intelektual muda cenderung mempersepsikan hal ini sebagai tindakan koersif dan tidak humanis, hal kebendaan yang mati lebih penting dari pada hak manusiawi.

Orientasi yang manipulatif dengan menafikan substansi sebenarnya cenderung mempunyai jalur akibat sama dengan tujuan awalnya. Orientasi asimetris bukan dilihat sebagai sebuah anomali pencitraan. Karena bagaimanapun juga, orientasi dalam kasus ini harus kita gesekkan pada ranah aksiologis, ranah yang menyangkut moralitas dan mentalitas. Identitas sejati adalah dia yang dapat mempertanggungjawabkan ekspresi-ekspresi epidermia atas pencitraan yang sadar maupun tidak sadar dia tampilkan. Namun, ketika kita sepakat dengan Heidegger bahwa dunia kontemporer ini dipenuhi oleh ‘gambar-gambar’, maka setiap entitas yang berkesadaran-berkehendak tidak lepas dari pencitraan atas kediriannya. [Arya]


0 Responses to “Pencitraan: Manifesto atas Identitas Imajiner”



  1. Leave a Comment

Leave a comment


Rubrik

Kalender

June 2009
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Kunjungan Anda

  • 13,446 klik

Temui kami di:

Gedung Yong Ma lantai 2, Jalan Socio-Justicia 1, Bulaksumur, Yogyakarta. Email: sintesapress@yahoo.com Facebook/ Group: Persma Sintesa/ Sintesa Press